Kamis, 21 Desember 2017 Tarakan didera gempa. Meskipun cenderung lebih kecil skalanya dibanding gempa pada tanggal dan bulan yang sama dua tahun lalu, tetap saja menimbulkan kepanikan di mana-mana. Bagi saya ini adalah momentum yang tepat bagi kita semua untuk sama-sama bercermin ke dalam diri sendiri, soal kebanggan kita –masyarakat Tarakan- yang katanya ‘aman’ dari ring of fire dan bermanja-manja dengan ‘keamanan’ itu. Alih-alih gagap dan gugup terhadap gejala dan gejolak alam yang seringkali datang tanpa permisi dan dengan beragam bentuknya. Longsor, banjir, gempa atau mungkin tsunami.
Seingat saya, selama hidup di Tarakan lebih kurang 18 tahun dari lahir sejak SMA, hanya sekali saya merasakan gempa. Saya masih kecil saat itu, dan masih belum paham kenapa orang-orang berhamburan keluar rumah. Yang saya rasakan hanya badan bergetar bibir pecah-pecah, sakit tenggorokan, jendela-jendela bergetar, sisanya saya hanya mengingat Ibu memeluk saya dan bergegas lari keluar rumah. Tidak banyak yang saya tahu soal kejadian itu, tidak banyak memori tentangnya. Bagi orang tua saya, gempa kala itu datang lagi setelah lama tidak datang. Ada yang bilang naga di perut bumi sedang merasakan geli, lantas bergerak-gerak (iseng juga naganya). Sebagian lagi bilang ada yang sedang ‘adu ilmu’. Bagaimanapun juga, saat itu sulit bagi saya menerima kalau gempa adalah bagian dari cara alam menyeimbangkan dirinya.
Pesan dari Sana : Jepang dan Yogyakarta
Jepang
Saya ingin membandingkan kondisi Tarakan dengan Jepang soal tanggap bencana. Tapi agak kurang fair karena mereka menyembah matahari adalah negara maju sementara Tarakan adalah sebuah kota di negara yang belum maju. Tidak apple to apple. Tapi apa salahnya kita belajar mengambil yang baik-baik dari negara tersebut.
Selain akrab dengan JAV teknologi, kecerdasan dan kedisiplinan, Jepang juga berkawan baik dengan bencana. Mulai dari gempa yang rutin, dikelilingi gunung berapi, banjir, tanah longsor, juga tentu saja tsunami. Kamu fikir kenapa nama gelombang besar itu adalah tsunami? Kamu fikir tsunami itu Bahasa tagalog ?
Saya akui, Jepang adalah bangsa besar yang menjunjung tinggi peradaban. Sadar akrab dengan berbagai macam bencana, mereka mulai berfikir ‘terbalik’. Mereka paham tidak bisa melawan alam. Maka mereka memutuskan untuk fokus pada manusianya. Manusia-manusia Jepang dididik sedemikan rupa supaya berkawan baik dengan bencana. Mulai dari cara pencegahan, saat terjadi, pasca terjadi, hingga proses pemulihan. Pendidikan tanggap bencananya pun bertahap, sehingga bisa diterima di setiap lapisan masyarakatnya. Untuk anak-anak TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Untuk mereka yang hobi beraktitas di luar ruangan hingga pekerja kantoran yang menghabiskan waktunya di dalam ruangan. Untuk anak-anak TK misalnya, mereka diajarkan untuk mengenal macam-macam kejadian alam dan cara paling mudah menyikapinya. Mulai dari pengaman helm, di mana letak titik kumpul hingga pintu darurat terdekat. Tentu saja ini semua diajarkan bersamaan dengan pelatihan kepada guru-guru mereka. Pengenalan dan pendidikan tanggap bencana itu dilakukan sesuai tingkatan pemahaman dan pengetahuannya.
Yogyakarta
Di tahun 2010 saya mendapat kesempatan untuk merantau dan kuliah di Yogyakarta. Selain dikenal sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Yogya juga dikenal dengan beragam julukan. Sebut saja kota gudeg, kota pendidikan, kota pelajar hingga kota dengan hotel yang banyak, kendaraan yang banyak, band indie yang banyak, wisata alam yang memukau. Di luar itu, Yogyakarta adalah daerah rawan bencana. Mulai dari gempa hingga erupsi gunung merapi di Utara Sleman. Benar saja, dua hari setelah menginjakkan kaki di Asrama Mahasiswa Kalimantan Timur Mangkaliat Yogyakarta –tempat tinggal saya selama menempuh pendidikan di Yogyakarta-, gempa itu datang lagi menghampiri saya. Saya ingat, saat itu saya bersama teman-teman dari Tarakan sedang haha-hihi di salah satu kamar di asrama. Gempa datang begitu cepat, saat semua senior-senior asrama berlarian keluar kamar menuju halaman asrama yang rindang. Sementara kami ? Anak-anak Tarakan yang miskin ilmu –terlebih ilmu gempa- ini malah masih asik haha-hihi tak tahu harus berbuat apa.
Pernah juga waktu kuliah di lantai tiga di kampus Bulaksumur gempa itu datang lagi. Layar proyektor bergerak ke sana – ke mari, mata dosen saya melotot ke kiri – ke kanan memperhatikan ruang kelas yang tak ubahnya gedung tua di antara gedung-gedung fakultasnya Mensesneg itu. Teman-teman saya berusaha tenang. Saya ? Berusaha tenang tapi raut panik cepat terlihat di wajah. Lebih kurang empat tahun setengah di Yogyakarta, saya jadi belajar sedikit-sedikit soal gempa.
Di antara itu semua, yang paling berkesan bagi saya adalah bagaimana masyarakat Yogya bahu-membahu menolong sesamanya pada bencana erupsi merapi Oktober 2010 silam. Tepat dua bulan pasca gempa pertama yang saya rasakan di asrama tempo hari. Tenda darurat didirikan, posco bencana mudah ditemukan, UGM menjadikan gelanggang mahasiswa sebagai kantong pengungsian dan dapur umum. UNY tak mau kalah, auditorium mereka di Jalan Colombo disulap menjadi kantong-kantong pengungsian. Teman saya yang menempuh kuliah di jurusan BK (Bimbingan dan Konseling) di UNY mendadak sibuk dan jarang pulang ke asrama selama bencana terjadi. Ada kegiatan trauma healing bagi masyarakat katanya. Belum lagi aksi-aksi solidaritas dari rekan-rekan seniman Yogya yang digelar hampir setiap hari. Relawan PMI membagikan masker di persimpangan jalan-jalan utama. Karena isunya, masker kala itu diborong untuk dijual dengan harga lebih mahal (selalu ada yang berusaha mengambil keuntungan di balik musibah yang menimpa). Pemandangan itu yang membuat saya –dan mungkin sebagian teman yang lain- tetap merasa hangat. Tetap merasa harus kuat. Terlebih adalah perasaan bahwa saya –atau kami- tidak sendirian dalam menghadapi bencana ini.
Nukilan dari Bencana
Jika Jepang bisa memberikan pelajaran dan pengalaman soal edukasi bencana, maka Yogyakarta berhasil menyatukan hati dan perasaan yang remuk pasca bencana. Soal bencana sendiri, kita bisa menggali lebih jauh soal seberapa besar peran BMKG dalam mengabarkan isu-isu potensi gempa dan bencana lain. Atau soal seberapa cepat – tanggapkah BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) dalam merespon bencana. Di luar itu semua, ada masyarakat yang punya hak untuk mengakses pengetahuan soal bencana dan turunannya. Mulai dari manajemen bencana, edukasi soal apa yang harus dilakukan ketika bencana terjadi, nomor-nomor telepon penting, hingga alternatif akses kendaraan menuju tempat yang lebih aman. Jaga-jaga jika dua lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Peristiwa gempa yang terjadi dua tahun belakangan harusnya menjadikan kita –masyarakat Tarakan- untuk lebih bisa paham terhadap gejala dan gejolak alam. Bahwa sejatinya kita tidak hidup sendirian. Ada alam yang membersamai kita. Bagi saya, sekedar tahu dasar-dasar tanggap – bencana bukan berarti menolak takdir tuhan yang menetapkan bencana, tapi juga belajar mensukuri akal yang diberikan untuk digunakan. Atau bisa juga mensukuri nyawa yang dititipkan supaya bisa meminimalisir dampak dan kerugian. Bagi Sudjiwo Tedjo –dalam sebuah wawancara yang tentu saja bukan wawancara soal gempa di Tarakan-, mengatakan ini bencana alam adalah sebuah ketidak-adilan karena semua penyebab bencana alam adalah manusia. Karena alam hanya (selalu) berupaya menyeimbangkan dirinya. Bencana ini lebih tepat jika disebut bencana manusia. Karena manusialah yang sering menjadi penyebab bencana, katanya.
Pada akhirnya, jika belajar dari Jepang dan Yogyakarta, ini semua bukan saja soal bagaimana edukasi soal tanggap bencana bisa terdistribusi secara merata, tapi juga soal solidaritas, tingkat partisipasi dan keaktifan manusia-manusianya mengambil pelajaran dari bencana. Sudah saatnya masyarakat Tarakan melek dan peka terhadap kejadian di sekitarnya. Mereka-mereka yang tidak tahan akan pahitnya obat, harus siap menanggung selamanya sakit.