“Siapa yang berenang kemarin ?” tanya Pak Untung sangat lantang!
Waktu masih menunjukan pukul 07:00 WITA, salah satu guru sudah siap dan garang memegang awoy (baca: Rotan) menyambut kami didepan kelas. Tentu saja pagi itu adalah pagi yang sangat mengerikan bagi seumuran anak SD polos dengan bedak bercelemotan dimuka, maklum anak laki-laki maupun perempuan di era 90an wajib bedakan hahaha.
“bapak dapat laporan, jadi ngaku saja!” cetusnya lagi.
Maklum, berenang sehabis pulang sekolah adalah rutinitas yang tidak pernah kami lewatkan. Semacam malam takbiran=belakang THM tak pernah terlewatkan, begitu bukan ? hehe. Larangan melalui ucapan ataupun rotan sudah biasa kami hadapi tentu saja semuanya demi kepuasan duniawi, dan pak Untung tidak pernah bosan menghukum kami. Eh tunggu, anak SD harusnya jangan dihukum pukulan ya, saran saya kedepan mending hukumannya menanam pohon saja, lumayan kalau sudah beranak cucu masih bisa liat pohon. Cieee pesan moral haha.
Sungai sesayap adalah surga bagi kehidupan, mulai dari berenang, nelayan, dan bekantan semua merayakan surga yang diberikan tuhan.
“eh nanti sore berenang yok ambil bambu buat leduman”
“auw banjir kah yah ?”
“aku ikut bapaku betugu banyak seroja lewat, banjir di hulu sungai”
Musim bermain layangan baru saja berakhir, bekas benang gelasan tidak lagi menjadi perhiasan yang biasa dipegang sampai ketiduran. Banjir mulai datang, banjir yang dimaksud bukan seperti ibukota Jakarta atau yang paling dekat sebengkok dan sekitarnya, banjir adalah ketika luapan air dari hulu sungai mengalir ke hilir sungai, bisa dipastikan banyak seroja maupun sampah sampah kayu tumbang, bambu, peralatan rumah tangga. Sebuah pertanda musim permainan sudah berganti lagi, disitulah kami memanfaatkan sampah yang hanyut menjadi bahan untuk memainkan leduman (baca: Meriam dari bambu). Masalah hukuman bagi yang ketahuan berenang ? ah lupakan.
Sebagai anak pesisir sungai, sebagian dari kami nyaris tanpa cita cita dan memandang segala hal di masa itu bagai sebuah permainan yang tidak ada habisnya. Hari demi hari dihabiskan dengan bermain, mengikuti bapak mencari hasil laut, sehingga absen di kelas bukan sesuatu hal yang penting. Sebuah hidup yang sangat inheren kalau kita mengingatnya lagi.
Tulisan ini kembali meningatkan pada masa lalu begitu penuh kebebasan, sebuah oase dalam merubah cara berpikir dalam merawat kehidupan dan alam.
“coba kau liat si alul enak sudah hidupnya kerja di perusahaan tambang” cetus tetangga di kampung halaman.
“disini enak sudah sekarang banyak perusahaan masuk, gajinya besar” sambil menghisap dalam-dalam Gudang Garam Kretek hasil gajian.
Mengingat kembali dimana tempat itu merupakan surga bagi kehidupan, mungkin sudah tidak relevan. Bagaimanpun segala sesuatu pasti akan berubah, tidak lagi linier. Sungai yang kami anggap laut itu sudah menjadi arus mudik kapal kapal pengangkut hasil alam, menjadi pemandangan yang sangat memuakkan. Bukan lagi tempat bermain menyenangkan, seroja yang menandakan banjir berarti musim leduman datang kini menjadi penanda banjir limbah dampak perusahaan. Pulang bukan lagi sebagai melepas rindu akan kebebasan.
Hampir semua teman-teman sebaya sudah mantap hidup dengan sangat realistis, gaji yang besar, menikah. Nelayan bukan lagi jadi kearifan lokal, karna perusahaan adalah solusi yang paling masuk akal. Mungkin aku saja yang terlau peduli pada masa lalu, ntahlah. Begitulah pulang yang dirasakan. Kini sungai itu tidak ada lagi teriakan-teriakan kegembiraan, tidak ada lagi bapak yang mencari udang dan ikan, kawanan monyet-monyet bekantan sibuk mencari rumah baru untuk melanjutkan kehidupan, dan permainan kecil diambang kepunahan. Terlalu banyak cerita yang harus di ulang kembali sehingga menjadi rasa marah melihat keadaannya, kesedihan selalu muncul dan tetap tidak bisa merubah apapun. Pesulap yang handal sekalipun tidak akan bisa merubah sungai dan kampung itu seperti surga kehidupan lagi.
Kalau katanya Mark Manson “kebebasan itu mutlak, pada dasarnya, tidak ada artinya.”. mungkin itu sangat tepat untuk cerita tentang masa kecil anak kampung di timur sungai sesayap yang di rampas kebahagiannya oleh korporat. Semua hanya bisa kembali mengingat masa lalu itu, hanya jadi bahan cerita bersama teman saat terjadi reuni kecil-kecilan disaat pulang, dimana pada suatu waktu sungai pernah menjadi bagian hidup dan menemukan berbagai hal bagi anak kampung.
Kebebasan untuk menjalani hidup di pesisir sungai sudah menjadi mustahil dilakukan, orang-orang sudah nyaman sama rutinitas yang bergaji tinggi, anak anak sibuk dengan mainan baru tanpa memakan energi dan keluar rumah, guru sekolah tidak pernah lagi mendengar laporan warga soal anak berenang dan tidak pernah lagi menghukum muridnya. Aliran sungai itu sudah menjadi gelap, cahaya kegembiraan sudah tidak bisa lagi meneranginya, tak ada lagi yang peduli tentang symbiosis mutualisme kehidupan. Kapal-kapal pengangkut hasil alam tanpa berdosa terus saja melanjutkan rutinitas dan tidak perlu memikirkan dampaknya.
Memiliki kebahagian bukan lagi suatu hal mutlak untuk anak-anak kampung pesisir sungai, melihat apa yang sudah terjadi tidak seharusnya masa depan dihadapi dengan cara yang sangat menyakitkan. Anak-anak kampong pesisir sungai memiliki pekerjaan rumah sangat sulit untuk merawat kehidupannya, melawan sikap apatis yang tanpa disadari tak kalah pentingnya juga karena semakin banyak tumbuh berkembang dikalangan sekitar, tentu beberapa yang peka pasti sadar akan hal ini. Tidak bisa dipungkiri terdapat implikasi semakin banyak orang-orang menginginkan sesuatu yang lebih, semakin tidak peduli juga dengan apa yang terjadi. Padahal relasi antara kehidupan manusia dan alam sangatlah erat, alam bisa menjadi tempat meditasi terbaik bagi manusia, memberi kebahagiaan untuk manusia.
Sekarang pikiran terus melayang-layang kemasa kecil itu, tatapan kosong tak bisa lagi dihindari, tak ada doa terlibat didalamnya, hanya saja harapan demi harapan terus melintas seakan-akan memberi tahu untuk bangun dan bergerak maju. Kepada yang merasakan hal yang sama, bersyukurlah telah menikmati masa indahmu, saat semua terasa cepat bersiaplah mencari alternatif lain agar kebahagianmu tidak hilang begitu saja, mungkin ini tidak ada kaitannya dengan konsep kebahagian tapi percayalah kita bahkan tidak menginginkan hal-hal yang tidak kita sukai. Dan akhirnya, terlalu naif bagi seseorang tidak mengeluarkan keluh kesahnya apalagi masalah kehidupan yang itu sangat penting, asal pada tempat yang benar tidak bergantung pada embel-embel kemapanan. Besok mulailah berusaha agar dunia atau lebih sempit lagi kampung halaman sendiri mendapat kesempatan hidup yang lebih baik lagi, kita dapat memperluas diri dalam berbagai cara agar bermanfaat.